SEBELUM
memeluk Islam, Sa'id bin Amir mempunyai pengalaman yang
amat mengesankan. Begitu mengesannya, sampai dibawa
pengalamannya itu saat ia diangkat menjadi gubernur
di Himsh oleh Umar bin Khathab. Pengalamannya
itu sangat memberikan nuansa tersendiri terhadap pola
hidupnya selanjutnya.
Ketika
itu suasana sehabis Perang Badar. Umumnya
masyarakat Makkah masih diliputi rasa kecewa, mendongkol,
dan balas dendam yang menggigit terhadap orang-orang Islam
yang dari segi kuanti tas, hanya berjumlah tiga
ratus prajurit lebih sedikit.
Namun
dalam kenyataannya dapat berhasil mengalahkan pasukan
Quraisy yang jumlahnya lebih tiga kali lipat dengan didukung
oleh persen jataan dan logistik yang lebih canggih. Bagaimana
mungkin?! Namun kenyataannya telah berbicara
bahwa pasukan Islam yang berjumlah sepertiga
kaum Quraisy itu telah memenangkan perang dengan
gilang-gemilang. Publik opini masyarakat Quraisy saat itu
(paska Badar) diliputi oleh kekecewaan mendalam dan rasa
ingin balas dendam. Itulah sebabnya ketika seorang
Muslim tertangkap oleh kaum Quraisy padahal ia itu
termasuk salah seorang anggota pejuang perang Badar,
mereka sedikit dapat merasakan kepuasan. Dengan sewenang-wenang
mereka memperlakukan prajurit tertawan, Khubaib bin
Adi, dengan segala yang dimauinya. Disiksa, dipermal ukan dan
pada akhirnya dibunuh sadis.
Saat
pelaksanaan eksekusi, kota Makkah amat ramai dipenuhi oleh
orang-orang yang ingin menyaksikannya dari dekat. Salah
seorang yang ikut menyaksikan kejadian itu adalah
Sa'id bin Amir yang waktu itu masih kafir. Ia dengan
kekuatannya yang lebih (ekstra), dapat berhasil maju di depan
panggung, setelah dengan susah payah berdesak-desakan dengan
para penonton.
Adegan
yang paling menarik bagi Sa'id adalah ketika Khubaib sudah akan
dieksekusi, dia tampak tenang. Bahkan ia masih sempat memin ta
waktu dan kesempatan untuk melakukan shalat dua rakaat. Sete
lah permintaan ini dipenuhi, ia ditanya oleh tokoh-tokoh
Quraisy, katanya, "Wahai Sa'id, bagaimanakah
pendapatmu jika kedudukanmu ini digantikan oleh
pemimpinmu Muhammad? Sedangkan engkau dapat bergerak bebas
melakukan apa yang engkau sukai?"
Dengan
tenang Sa'id menjawab, "Saya tidak rela
apabila saya sekeluarga bebas dari penderitaan ini
sementara Nabi Muhammad saw terkena penderitaan. Tak peduli
sekecil apa pun penderitaan itu, misalnya beliau terkena duri
sekalipun! Apalagi menempati posisi saya untuk dibunuh. Saya
tidak akan rela buat selama-lamanya."
Jawaban
yang tenang lagi mantap itu bukan saja mengagetkan tokoh- tokoh
Quraisy, tetapi lebih-lebih lagi mengejutkan
Sa'id bin Amir. Ia amat hormat terhadap
pernyataan Khubaib, di mana ia telah memperlakukan
pemimpinnya secara hormat penuh takdzim. Dalam
lubuk hatinya, ia berkata, "Bagaimana
seorang pemimpin dicintai oleh pengikutnya
sedemikian rupa, sehingga melebihi cintanya terhadap
dirinya sendiri?"
Setelah
itu, Khubaib dieksekusi secara beramai-ramai. Ada tombak, panah,
klewang, dan senjata-senjata lain ditikamkan dalam tubuh
nya. Sa'id sangat terkesan dengan ketenangan Khubaib
yang luar biasa rela menghadapi musibah besar dengan
lapang dada. Jauh di lubuk hatinya tersimpan pertanyaan
yang menggoda, "Jenis ajaran apakah yang diberikan oleh
sang pemimpin kaum Muslimin itu kepada umatnya, sehingga umat
betul-betul menjadi orang pilihan, berani menghadapi segala
risiko berat dengan tenang?"
***
KURANG
lebih 13 tahun sesudah kejadian itu berlalu, pemerintahan
beralih kepada Khalifah Umar bin Khathab. Ia terkenal
selektif dalam memilih amir-amir (gubernur-gubernur) yang
diangkat. Dipi lihnya orang-orang yang kurang ambisi
terhadap jabatan, bersifat lurus, amanah, dan dekat dengan
rakyat. Syarat-syarat itu rupanya sesuai dengan pribadi
Sa'id bin Amir. Untuk itu khalifah ingin
mengangkatnya menjadi pembantunya sebagai amir di Himsh,
daerah Syam.
Ditemuinya
Sa'id, kepadanya dikatakan, "Wahai Sa'id, saya ingin
mengangkat engkau sebagai penguasa di daerah Himsh,
bagaimana pendapatmu?"
Sa'id
yang tidak pernah membayangkan jabatan itu, berusaha meno lak.
Katanya, "Wahai Amirul Mukminin, perkenankanlah saya
tetap menjadi orang biasa, agar tetap dapat berkonsentrasi
ke akhirat. Saya khawatir dengan jabatan baru ini, saya
akan mudah berpaling dari akhirat menuju dunia."
Mendengar
jawaban itu Umar marah. "Celakalah engkau wahai Sa'id!
Engkau telah berlaku tidak adil. Bagaimana tidak? Engkau memberi
kan jabatan berat di atas pundakku sementara engkau berlepas
diri darinya. Dukungan jenis/model apakah ini?"
Akhirnya
Sa'id tidak dapat menolak lagi, jawabnya, "Wahai Amirul
Mukminin! Demi Allah, saya tidak akan membiarkan Anda sendirian
dalam memikul beban berat itu. Saya dengan kemampuan
yang ada akan berusaha membantu Anda."
Dari
kejadian itu, Sa'id kemudian diangkat Umar menjadi Gubernur
di Himsh. Namun ia termasuk gubernur yang unik.
Gubernur yang amat sederhana. Hal ini terungkap
ketika terjadi pertemuan segi tiga antara Khalifah Umar
yang sedang melakukan inspeksi, rakyat di wilayah Himsh,
dan Sa'id sebagi gubernurnya.
Khalifah
bertanya kepada khalayak, "Coba sebutkan terus-terang
apa yang menjadi keberatanmu terhadap gubernurmu?"
Jawab
mereka, "Ada beberapa hal yang kami merasa keberatan terha
dap kinerja gubernur. Pertama, ia baru mau keluar setelah mata
hari telah tinggi. Kedua, ia tidak bersedia menerima
kami pada malam hari. Ketiga, ia
seringkali tanpa kami ketahui sebab- musababnya
mendadak jatuh pingsan."
Khalifah
Umar berpaling kepada Gubernur Sa'id bin Amir, "Jawablah
keberatan-keberatan mereka itu dengan benar."
Sa'id
kemudian bangkit memberikan jawaban. "Terhadap
keberatan pertama, saya katakan bahwa saya tidak mempunyai
pembantu sama sekali. Apa pun pekerjaan rumah yang
ada kami kerjakan sendiri bersama isteri. Saya lebih dulu
harus menanak bubur, menjerang air, dan melakukan
persiapan-persiapan yang lain sebelum keluar menemui
mereka.
Adapun
terhadap keberatan kedua, saya memang sejak awal berprinsip,
apa pun yang terjadi kami ingin mencapai
kebahagiaan di akhirat lebih daripada di dunia. Sebab
itulah kebahagiaan yang sesungguhnya dan
abadi. Untuk itu, masalah dinas telah
kami sediakan waktu untuk siang hari. Sedangkan
untuk malam harinya, kami menyediakan diri untuk beribadah
kepada Allah semata.
Mengenai
keberatan ketiga, bahwa saya sering pingsan, saya akui.
Sebetulnya ini berhubungan dengan pengalaman
traumatik saya sebelum Islam di Makkah. Yakni
ketika menyaksikan penderitaan Khubaib disiksa
oleh orang-orang Quraisy. Setelah melecut sadis dan menyayat-nyayat
tubuhnya, mereka akhirnya membunuhnya tanpa rasa dosa.
Sementara saya ada di depannya, tidak dapat berbuat
apa-apa; hanya termangu-mangu dan terpaku di tempat.
Setiap
kali saya mengenang dan mengingat peristiwa Khubaib yang
disiksa sadis, sementara saya tidak berbuat apa pun, saya merasa
berdosa besar dan sulit diampuni. Itulah sebabnya saya
pingsan setiap kali teringat peristiwa traumatik
itu."
Mendengar
jawaban lugas Sa'id itu, Khalifah Umar merasa terharu.
Jawaban polos apa adanya itu dapat diterima.
Khalifah merasa bahwa Sa'id bin Amir,
gubernurnya di Himsh, telah melakukan
pekerjaannya dengan baik. Dia tetap lurus, amanah, dekat
dengan rakyat, dan dekat dengan Allah. Tidak
tenggelam dalam godaan- godaan duniawi.
0 komentar:
Post a Comment