Penduduk Madinah berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu’minin Umar radhiyallah ‘anhu.
Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka rindu
untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan
ketaqwaannya. Begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah
Irak.
Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba
muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri.
Ia mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua
kakinya teruntai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam
sedang mulutnya sedang mengunyah
Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa
orang itu tidak lain adalah Hudzaifah ibnul Yaman, maka mereka jadi
bingung dan hampir-hampir tak percaya Tetapi apa yang akan diherankan?
Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar
radhiyallah ‘anhu, Hal itu dapat difahami, karena baik di masa keraiaan
Persi yang terkenal itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya
corak pemimpin semulia ini.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meneruskan perjalanan sedang orang-orang
berkerumun dan mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka
menatapnya seolah-olah menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka,
lalu katanya: “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!”
Ujar mereka: “Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu
Abdillah”. Ujarnya: “Pintu-rumah para pembesar. Seorang di antara kalian
masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan
baik yang tak pernah mereka lakukan.”
Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jubkan. Dari
ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang
segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang
apa saja yang terdapat di dunia ini, begitu pun yang lebih hina dalam
pandangan matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus
merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri
baru ini, serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.
Hudzaifah ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu memasuki arena kehidupan ini
dengan bekal tabi’at istimewa. antara ciri-cirinya ialah anti
kemunafikan, dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di
tempat-tempat yang jauh sekalipun.
Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketiganya memeluk Islam,
sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang,
maka sungguh, ia menganutnya itu secara teguh dan suci, serta lurus dan
gagah berani, dan dipandangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan
sebagai sifat yang rendah dan hina.
Ia terdidik di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya shubuh, hingga tak suatu pun dari
persoalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam
lubuk hatinya, seorang yang benar dan jujur, mencintai orang-orang yang
teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang
berbelit-belit dan riya, orang-orang culas bermuka dua.
Ia bergaul dengan Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudzaifah ini tumbuh
subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pangkuan
Agama Islam, di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan di
tengah-tengah golongan besar Kaum perintis dari shahabat-shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan, hingga ia berhasil
mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka seseorang. Dalam
waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan tanpa susah payah
akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan
yang terpendam.
Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang
diinginkannya, hingga Amirul Mu’minin Umar radhiyallah ‘anhu yang
dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi seorang yang cerdas
dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan
mengenali mereka.
Sungguh Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu telah dikaruniai fikiran jernih,
menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini
sesuatu yang baik itu adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang
yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek ialah yang gelap
atau samar-samar, dan karena itu orang yang bijaksana hendaklah
mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah Hudzaifah radhiyallah ‘anhu terus-menerus mempelajari
kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafiq.
Berkatalah ia:
“Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang
kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya.
Pernah kubertanya:”Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah
mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada
kejahatan?” “Ada” ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi-kebaikan?’: tanyaku
pula. “M lemang, tetapi kabur dan bahaya .”. “Apa bahaya itu?” “Yaitu
segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk
bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.” “Kemudian
setelah kebaikan tersebut masihkah ada lagi kejahatan?” tanyaku pula.
“Masih,” ujar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “yakni para tukang
seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka
lemparkan ke dalam neraka.”
Lalu kutanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ya
Rasulallah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal
demikian?” Ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Senantiasa
mengikuti jama’ah Kaum Muslimin dan pemimpin mereka.”
“Bagaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin?”
“Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walaupun kamu akan
tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian!”
Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya: “Orang-orang menanyakan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, tetapi
saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan , karena takut akan terlibat
di dalamnya?”
Hudzaifah ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu menempuh kehidupan ini dengan
mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan
liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap
bahayanya. Dengan demikian ia menganalisa kehidupan dunia ini dan
mengkaji pribadi orang serta meraba situasi.
Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akal pikirannya lalu
dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘arif dan bijaksana.
Berkatalah ia:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati. Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan yang durjana. Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati. Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan yang durjana. Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq.
Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya
tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan
suatu cabang dari yang haq. Dan ada pula yang menentang dengan hatinya
semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini
telah meninggalkan dua cabang dari yang haq. Dan ada pula yang tidak
menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka
golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa.”
Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang
beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya: “Hati itu ada empat macam:
Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq, Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan.
Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq, Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan.
Perumpamaan keimanan itu adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi
air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang
diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat,
itulah yang menang.”
Pengalaman Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang luas tentang kejahatan
dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan
kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita
secara ksatria, katanya:
“Saya datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kataku padanya: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka. Maka ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : Kenapa kamu tidak beristighfar. Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.
“Saya datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kataku padanya: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka. Maka ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : Kenapa kamu tidak beristighfar. Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.
Nah, inilah dia Hudzaifah radhiyallah ‘anhu musuh kemunafikan dan
shahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan
kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudzaifah radhiyallah
‘anhu, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang
telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan di tangan srikandi Islam
sendiri, yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang
musyrik.
Hudzaifah radhiyallah ‘anhu melihat dari jauh pedang sedang
dihunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak: “ayahku.. ayahku.. jangan ia
ayahku.” Tetapi qadla Allah telah tiba. Dan ketika Kaum Muslimin
mengetahui hal itu, mereka pun diliputi suasana duka dan sama-sama
membisu. Tetapi sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan
penuh pengampunan, katanya: “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia
adalah sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat
berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas
kewajibannya. Akhirnya peperangan pun usailah dan berita tersebut sampai
ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Maka disuruhnya
membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda Hudzaifah radhiyallah ‘anhu
(Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudzaifah radhiyallah
‘anhu ini dan disuruh membagikannya kepada Kaum Muslimin. Hal itu
menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam terhadap dirinya.
Keimanan dan kecintaan Hudzaifah radhiyallah ‘anhu tidak kenal lelah
dan lemah, bahkan juga tidak kenal mustahil. Sewaktu perang
Khandaq,yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy
dan sekutu-sekutu mereka dari golongan yahudi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengetahui perkembangan terakhir di
lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin topan
dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan
menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak di tempatnya.Dan
suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan
kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan
telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apa pun kekuatan itu
yang berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah
bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk
secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan
mengetahui keadaan mereka?
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih di antara para
shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini! Dan
tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah dia
Hudzaifah ibnu Yaman radhiyallah ‘anhu.
Ia dipanggil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
melakukan tugas, dan dengan patuh dipenuhinya. Dan sebagai bukti
kejujurannya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut dinyatakannya
bahwa ia mau tak mau harus menerimanya.Hal itu menjadi petunjuk, bahwa
sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya
serta khawatir akan akibatnya.
Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar
dan timpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai
akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.
Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudzaifah radhiyallah ‘anhu
malam itu, amat mena’jubkan sekali! Ia telah menempuh jarak yang
terbentang di antara kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan,
lalu secara diam-diam menyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin
kencang telah memadamkan alat-alat penerangan pihak lawan hingga mereka
berada dalam gelap gulita, sementara Hudzaifah radhiyallah ‘anhu telah
mengambil tempat di tengah-tengah prajurit musuh itu.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan
malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata Kaum Muslimin untuk menyusup ke
perkemahan mereka. Maka ia pun berdirilah untuk memperingatkan anak
buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudzaifah
radhiyallah ‘anhu dan bunyinya sebagai berikut:
“Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian
memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa
namanya.”
Kata Hudzaifah radhiyallah ‘anhu: “Maka segeralah saya menjabat
tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya: “Siapa kamu
ini?” Ujarnya: “Si Anu anak si Anu.”
Demikianlah Hudzaifah radhiyallah ‘anhu mengamankan kehadirannya di kalangan tentara musuh itu hingga selamat.
Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tentaranya, katanya: “Hai
orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda
kita telah binasa.,demikian juga halnya unta. Bani Quraidhah telah pula
mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan.
Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana
angin badai: periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan
kemah-kemah berantakan Maka berangkatlah kalian sayapun akan berangkat.”
Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari
belakang oleh tentaranya.
Kata Hudzaifah radhiyallah ‘anhu: “Kalau tidaklah pesan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada saya agar saya tidak mengambil
sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu
Sufyan itu dengan anak panah.”
Hudzaifah radhiyallah ‘anhu kembali kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan
berita gembira itu.
Barangsiapa yang pernah bertemu muka dengan Hudzaifah radhiyallah
‘anhu, dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta
ketekunannya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan mengharapkan
daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang at;au pertempuran.
Tetapi anehnya dalam bidang ini pun Hudzaifah radhiyallah ‘anhu melenyapkan segala dugaan itu.
Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan.
Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan.
Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima
dalam deretan tokoh-tokoh terpenting pada pembebasan seluruh wilayah
Irak. . Kota-k·ota Hamdan, Rai dan Dainawar, selesai pembebasannya di
bawah komando Hudzaifah radhiyallah ‘anhu.
Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi
berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mu’minin Umar memilih
sebagai panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudzaifah
radhiyallah ‘anhu dikirimnya surat agar ia menuju tempat itu sebagai
komandan dari tentara Kufah.
Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya:”Jika Kaum
Muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah
mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah
Nu’man bin Muqarrin.
Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji komando hendaklah
dipegang oleh Hudzaifah radhiyallah ‘anhu, dan kalau ia tewas pula maka
oleh Jarir bin Abdillah.”
Amirul Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujub orang
banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.
Dan kedua pasukan pun berhadapanlah. Pasukan Persi dengan 150 ribu
tentara, sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak
lebih.Perang berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya,
perang terdahsyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima besar Kaum Muslimin gugur sebagai syahid Nu’man bin Muqarrin
tewaslah sudah.. Tetapi sebelum bendera Kaum Muslimin menyentuh tanah,
panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin
kemenangan pun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan
semangat penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang baru itu
tiada lain adalah Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallah ‘anhu Bendera segera
disambutnya, dan dipesankannya agar k:ematian Nu’man tidak disiarkan,
sebelum peperangan berketentuan. Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin
dan ditempatkan pada kedudukan saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan
kepadanya. Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak
dalam waktu hanya beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat,
kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi
sambil menyerukan:
“Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya. Allah Akbar, telah
dibela-Nya tentara-Nya” Lalu diputarlah kekang kudanya ke arab anak
buahnya, dan berseru: “Hai ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
pintu-pintu surga telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan
tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lebih lama! Ayuhlah wahai
pahlawan-pahlawan Badar. Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan
Tabuk.”
Dengan ucapan-ucapannya itu Hudzaifah radhiyallah ‘anhu telah
memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tak dapat
dikatakan telah menambah dan melipatgandakannya.
Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi
orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya
Dialah seorang pahlawan di bidang hikmat, ketika sedang tenggelam
dalam renungan. Seorang pahlawan di medan juang, ketika berada di medan
laga. Pendeknya ia seorang tokoh, dalam urusan apa juga yang dipikulkan
atas pundaknya, dalam setiap persoalan yang membutuhkan pertimbangannya.
Maka tatkala Kaum Muslimin di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash
radhiyallah ‘anhu hendak pindah dari Madain ke Kufah dan bermukim di
sana, yakni setelah keadaan iklim kota Madain membawa akibat buruk
terhadap Kaum Muslimin dari golongan Arab, menyebabkan Umar menitahkan
Sa’ad segera meninggalkan kota itu setelah menyelidiki suatu daerah yang
paling cocok sebagai tempat pemukiman Kaum Muslimin, maka siapakah dia
yang diserahi tugas untuk memilih tempat dan daerah tersebut. ? Itulah
dia Hudzaifah ibnul Yaman ibnul Yaman radhiyallah ‘anhu, yang pergi
bersama Salman bin Ziad guna menyelidiki lokasi yang tepat bagi
pemukiman baru itu. Tatkala mereka sampai di Kufah, yang ternyata
merupakan tanah kosong yang berpasir dan berbatu-batu, pernafasan
Hudzaifah radhiyallah ‘anhu menghirup udara segar, maka ia berkata
kepada shahabatnya: “Di sinilah tempat pemukiman itu insya Allah”
Demikianlah diatur rencana pembangunan kota Kufah, yang oleh ahli
bangunan diwujudkan menjadi sebuah kota yang permai. Dan baru saja Kaum
Muslimin pindah ke sana, maka yang sakit segera sembuh, yang lemah
menjadi kuat, dan urat-urat mereka berdenyutan menyebarkan arus
kesehatan.
Sungguh, Hudzaifah adalah seorang yang berfikiran cerdas dan
berpengalaman luas, kepada Kaum Muslimin selalu dipesankannya: “Tidaklah
termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk
kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk
kepentingan dunia. tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari
kedua-duanya.”
Pada suatu hari di antara hari-hari yang datang silih berganti dalam
tahun 36 Hijriah, Hudzaifah radhiyallah ‘anhu mendapat panggilan
menghadap Ilahi. Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat
melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa orang
shahabatnya. Maka ditanyakannya kepada mereka : “Apakah tuan-tuan
membawa kain kafan?”
“Ada”, ujar mereka.
“Coba lihat”, kata Hudzaifah radhiyallah ‘anhu pula.
“Coba lihat”, kata Hudzaifah radhiyallah ‘anhu pula.
Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah,
terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada
ketidaksenangan, lain katanya: “Kain kafan ini tidak cocok bagiku.
Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju.
Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek .
Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat dan sewaktu didengarkan
oleh hadirin dengan mendekatkan telinga mereka, kedengaranlah ucapannya:
“Selamat datang, wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia tak ada keluh atau sesalku.”
Ketika itu naiklah membubung ke hadlirat Ilahi, ruh suci di antara
arwah para shalihin, ruh yang cemerlang, taqwa, tunduk dan berbakti.
0 komentar:
Post a Comment