Saturday, 24 December 2011

Shuhaib bin Sinan

la dilahirkan dalam lingkungan kesenangan dan kemewahan. Bapaknya menjadi hakim dan walikota “Ubullah” sebagai pejabat yang diangkat oleh Kisra atau maharaja Persi. Mereka adalah orang-orang Arab yang pindah ke Irak, jauh sebelum datangnya Agama Islam. Dan di istananya yang terletak di pinggir sungai Efrat ke arah hilir “Jazirah” dan “Mosul,” anak itu hidup dalam keadaan senang dan bahagia.
Pada suatu ketika, negeri itu menjadi sasaran orang-orang Romawi yang datang menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk di antaranya Shuhaib bin Sinan. la diperjualbelikan oleh saudagar-saudagar budak belian, dan perkelanaannya yang panjang berakhir di kota Mekah, yakni setelah menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remajanya di negeri Romawi, hingga lidah dan dialeknya telah menjadi lidah dan dialek Romawi. Majikannya tertarik akan kecerdasan, kerajinan dan kejujurannya, hingga Shuhaib dibebaskan dan dimerdekakannya, dan diberinya kesempatan untuk dapat berniaga bersamanya.
Maka pada suatu hari…, yah, marilah kita dengarkan cerita kawannya yang bernama ‘Ammar bin Yasir, mengisahkan peristiwa yang terjadi pada hari itu:
“Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, yakni ketika Rasulullah SAW sedang berada di dalamnya.
- Hendak ke mana kamu? tanya saya kepadanya.
- Dan, kamu hendak ke mana? jawabnya.
- Saya hendak menjumpai Muhammad SAW untuk mendengarkan ucapannya, kata saya.
- Saya juga hendak menjumpainya, ujarnya pula.
Demikianlah kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah Agama Islam kepada kami, setelah kami meresapi apa yang dikemukakannya kami pun menjadi pemeluknya. Kami tinggal di sana sampai petang hari. Lalu dengan sembunyi-sembunyi kami keluar meninggalkannya…”
Jadi Shuhaib telah tahu jalan ke rumah Arqam… Artinya ia telah mengetahui jalan menuju petunjuk dan cahaya, juga ke arah pengurbanan berat dan tebusan besar… Maka melewati pintu kayu yang memisah bagian dalam rumah Arqam dari bagian luarnya, tidak hanya berarti melangkahi bandul pintu semata…, tetapi hakikatnya adalah melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan…! Yakni alam lama dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlaq, maupun berupa peraturan yang harus dilangkahinya menuju alam baru dengan segala aspek dan persoalannya… Melangkahi bandul pintu rumah Arqam yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki, pada hakekat dan kenyataannya adalah melangkahi bahaya besar luas dan lebar.
Maka menghampiri rintangan itu – maksud kita bandul tersebut mema’lumkan datangnya suatu masa yang penuh dengan tanggung jawab yang tidak enteng…! Apalagi bagi fakir miskin, budak belian dan orang perantau, memasuki rumah Arqam itu artinya tidak lain dari suatu pengurbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia. Shahabat kita Shuhaib adalah anak pendatang atau orang perantau, sedang shahabat yang berjumpa dengannya di ambang pintu rumah tadi yakni ‘Ammar bin Yasir – adalah seorang miskin… Tetapi kenapa keduanya itu berani menghadapi bahaya, dan kenapa mereka bersiap sedia untuk menemuinya…?
Nah, itulah dia panggilan iman yang tak dapat dibendung…! Dan itulah dia pengaruh kepribadian Muhammad SAW, yang kesan-kesannya telah mengisi hati orang-orang baik dengan hidayah dan kasih sayang…! Dan itulah dia daya pesona dari barang baru yang bersinar cemerlang, yang telah memukau akal fikiran yang muak melihat kebasian barang lama, bosan dengan kesesatan dan kepalsuannya…!
Dan di atas semua ini, itulah rahmat dari Allah Ta’ala yang dilimpahkan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, serta petunjuk-Nya yang diberikan kepada orang yang kembali dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Bahkan ia telah membuat tempat yang luas dan tinggi dalam barisan orang-orang yang teraniaya dan tersiksa! Begitu pula dalam barisan para dermawandan penanggung uang tebusan…!
Pernah diceritakan keadaan sebenarnya yang membuktikan rasa tanggung jawabnya yang besar sebagai seorang Muslim yang telah bai’at kepada Rasulullah dan bernaung di bawah panji-panji Agama Islam, katanya, “Tiada suatu perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku menyertainya…”
Dan tiada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku menghadirinya… Dan tiada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya kecuali aku termasuk sebagai anggota rombongannya… Dan tidak pernah beliau bertempur baik di masa-masa pertama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau di sebelah kirinya.
Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang… Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah SAW berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah.
Suatu gambaran keimanan yang istimewa dan kecintaan yang luar biasa… Sungguh, Shuhaib – semoga Allah meridhainya dan meridhai semua shahabatnya – layak untuk mendapatkan keunggulan iman ini, semenjak ia menerima cahaya illahi dan menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasulullah SAW Mulai saat itu hubungannya dengan dunia dan sesama manusia, bahkan dengan dirinya pribadi mendapatkan corak baru. Jiwanya telah tertempa menjadi keras dan ulet, zuhud tak kenal lelah, hingga dengan bekal tersebut ia berhasil mengatasi segala macam peristiwa dan menjinakkan marabahaya…
Dan sebagai telah kita kemukakan dulu, ia selalu menghadapi segala akibat dan risiko dengan keberanian luar biasa. la tak hendak mundur dari segala pertempuran atau mengucilkan diri dari bahaya, sedang kegemarannya dialihkannya dari menumpuk keuntungan kepada memikul tanggung jawab, dari meni’mati kehidupan kepada mengarungi bahaya dan mencintai maut…
Hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang luhur itu diawali pada saat hijrahnya. Pada hari itu ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan selama berbilang tahun di Mekah. Semua kekayaan ini, yakni segala yang dimilikinya, dilepaskan dalam sekejap saat tanpa berpikir panjang atau mundur maju.
Ketika Rasulullah hendak pergi hijrah, Shuhaib mengetahuinya, dan menurut rencana ia akan menjadi orang ketiga dalam hijrah tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar… Tetapi orang-orang Quraisy telah mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah kepindahan Rasulullah.
Shuhaib terjebak dalam salah satu perangkap mereka, hingga terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu, sementara Rasulullah dengan shahabatnya berhasil meloloskan diri atas berkah Allah Ta’ala. Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan jalan bersilat lidah, hingga ketika mereka lengah ia naik ke punggung untanya, lalu dipacunya hewan itu dengan sekencang-kencangnya menuju sahara luas… Tetapi Quraisy mengirim pemburu-pemburu mereka untuk menyusulnya dan usaha itu hampir berhasil.
Shuhaib melihat dan berhadapan dengan mereka, ia berseru katanya, “Hai orang-orang Quraisy! Kalian sama mengetahui bahwa saya adalah ahli panah yang paling mahir… Demi Allah, kalian takkan berhasil mendekati diriku, sebelum saya lepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini, dan setelah itu akan menggunakan pedang untuk menebas kalian, sampai senjata di tanganku habis semua! Nah, majulah ke sini kalau kalian berani…! Tetapi kalau kalian setuju, saya akan tunjukkan tempat penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian membiarkan daku…!”
Mereka sama tertarik dengan tawaran terakhir itu, dan setuju menerima hartanya sebagai imbalan dirinya, kata mereka, “Memang, dahulu waktu kamu datang kepada kami, kamu adalah seorang miskin lagi papa. Sekarang hartamu menjadi banyak di tengah-tengah kami hingga melimpah ruah. Lalu kami hendak membawa pergi bersamamu semua harta kekayaan itu…?”
Shuhaib menunjukkan tempat disembunyikan hartanya itu, hingga mereka membiarkannya pergi sedang mereka kembali ke Mekah. Dan suatu hal yang aneh ialah bahwa mereka mempercayai ucapan Shuhaib tanpa bimbang atau bersikap waspada, hingga mereka tidak meminta suatu bukti, bahkan tidak meminta agar ia mengucapkan sumpah…!
Kenyataan ini menunjukkan tingginya kedudukan Shuhaib di mata mereka, sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Shuhaib melanjutkan lagi perjalanan hijrahnya seorang diri tetapi berbahagia, hingga akhirnya berhasil menyusul Rasulullah SAW di Quba. Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi oleh beberapa orang shahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan salamnya.
Dan demi Rasulullah melihatnya, beliau berseru dengan gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya! Beruntung perdaganganma, hai Abu Yahya!”
Dan ketika itu juga turunlah ayat:
“Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha penyantun terhadap hamba-hamba-Nya!”
(Q. S. Al-Baqarah: 207)
Memang, Shuhaib telah menebus dirinya yang beriman itu dengan segala harta kekayaan, ia mengumpulkan harta kekayaan itu dengan menghabiskan masa mudanya, yah seluruh usia mudanya…, dan sedikit pun ia tidak merasa dirinya rugi! Apa artinya harta, emas, perak dan seluruh dunia ini, asal imannya tidak terganggu, hati nuraninya berkuasa dan kemauannya menjadi raja! la amat disayangi oleh Rasulullah SAW Di samping keshalihan dan ketaqwaannya, Shuhaib adalah seorang periang dan jenaka.
Pada suatu hari Rasulullah melihat Shuhaib sedang makan kurma dan salah satu matanya bengkak. Tanya Rasulullah kepadanya sambil tertawa, “Kenapa kamu makan kurma sedang sebelah matamu bengkak?” “Apa salahnya?” ujar Shuhaib; “. . . saya memakannya dengan mata yang sebelah lagi…?”
Shuhaib juga seorang pemurah dan dermawan. Tunjangan yang diperolehnya dari Baitul mal dibelanjakan semuanya di jalan Allah, yakni untuk membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin dalam kesengsaraan, memenuhi firman Allah Ta’ala:
“Dan diberikannya makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan.” (Q. S. Ad-Dahr)
Sampai-sampai kemurahannya yang amat sangat itu mengundang peringatan dari Umar, katanya kepada Shuhaib, “Saya lihat kamu banyak sekali mendermakan makanan hingga melewati batas…!” Jawab Shuhaib, “Sebab saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik kalian ialah yang suka memberi makanan.”
Dan setelah diketahui kehidupan Shuhaib berlimpah ruah dengan keutamaan dan kebesaran, maka dipilihnya oleh Umar bin Khatthab untuk menjadi imam bagi Kaum Muslimin dalam shalat mereka, merupakan suatu keistimewaan dan kecemerlangan.
Tatkala Amirul Mu’minin diserang orang sewaktu melakukan shalat shubuh bersama Kaum Muslimin, maka disampaikannyalah pesan dan kata-kata akhirnya kepada para shahabat, katanya, “Hendaklah Shuhaib menjadi imam Kaum Muslimin dalam shalat…!”
Ketika itu, Umar telah memilih enam orang shahabat yang diberi tugas untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Dan khalifah Kaum Musliminlah yang biasanya menjadi imam dalam shalat-shalat mereka. Maka siapakah yang akan bertindak sebagai imam dalam saat-saat vakum antara wafatnya Amirul Mu’minin dan terpilihnya khalifah baru itu?
Tentulah Umar, apalagi dalam saat-saat seperti itu, ya’ni ketika ruhnya yang suci hendak berangkat menghadap Allah, akan berpikir seribu kali sebelum menjatuhkan pilihannya. Maka kalau ia telah memutuskan pilihannya, tentulah tak ada orang yang lebih beruntung dan memenuhi syarat dari orang yang dipilihnya itu. Dan Umar telah memilih Shuhaib.
Dipilihnya untuk menjadi imam untuk Kaum Muslimin menunggu munculnya khalifah baru yang akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dan ketika ia memilihnya, bukan tidak tahu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing. Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah terhadap hamba-Nya yang shalih, Shuhaib bin Sinan.

0 komentar:

Post a Comment