Friday 30 December 2011

SAID BIN AMIR

SEBELUM  memeluk Islam, Sa'id bin Amir mempunyai pengalaman yang amat mengesankan. Begitu mengesannya, sampai dibawa pengalamannya itu  saat  ia diangkat menjadi gubernur di Himsh oleh  Umar  bin Khathab.  Pengalamannya itu sangat memberikan nuansa  tersendiri terhadap pola hidupnya selanjutnya.
Ketika  itu suasana  sehabis Perang  Badar.  Umumnya  masyarakat Makkah masih diliputi rasa kecewa, mendongkol, dan balas  dendam yang menggigit terhadap orang-orang Islam yang dari segi  kuanti tas, hanya  berjumlah tiga ratus prajurit lebih  sedikit.  
Namun dalam kenyataannya  dapat berhasil mengalahkan  pasukan Quraisy yang jumlahnya lebih tiga kali lipat dengan didukung oleh persen jataan dan logistik yang lebih canggih. Bagaimana mungkin?! Namun  kenyataannya  telah  berbicara bahwa  pasukan  Islam yang berjumlah  sepertiga  kaum Quraisy itu telah  memenangkan perang dengan gilang-gemilang. Publik opini masyarakat Quraisy saat  itu (paska  Badar) diliputi oleh kekecewaan mendalam dan rasa  ingin balas  dendam. Itulah sebabnya ketika seorang  Muslim tertangkap oleh  kaum Quraisy padahal ia itu termasuk salah seorang  anggota pejuang  perang Badar, mereka sedikit dapat merasakan  kepuasan. Dengan  sewenang-wenang mereka memperlakukan  prajurit  tertawan, Khubaib bin Adi, dengan segala yang dimauinya. Disiksa, dipermal ukan dan pada akhirnya dibunuh sadis.
Saat  pelaksanaan eksekusi, kota Makkah amat ramai dipenuhi oleh orang-orang  yang ingin menyaksikannya dari dekat. Salah seorang yang  ikut  menyaksikan kejadian itu adalah Sa'id bin  Amir  yang waktu itu masih kafir. Ia dengan kekuatannya yang lebih (ekstra), dapat berhasil maju di depan panggung, setelah dengan susah payah berdesak-desakan dengan para penonton.
Adegan yang paling menarik bagi Sa'id adalah ketika Khubaib sudah akan dieksekusi, dia tampak tenang. Bahkan ia masih sempat memin ta waktu dan kesempatan untuk melakukan shalat dua rakaat.  Sete lah permintaan ini dipenuhi, ia ditanya oleh tokoh-tokoh Quraisy, katanya,  "Wahai Sa'id, bagaimanakah pendapatmu jika  kedudukanmu ini  digantikan oleh pemimpinmu Muhammad? Sedangkan engkau  dapat bergerak bebas melakukan apa yang engkau sukai?"
Dengan  tenang  Sa'id  menjawab, "Saya tidak  rela  apabila  saya sekeluarga bebas dari penderitaan ini sementara Nabi Muhammad saw terkena penderitaan. Tak peduli sekecil apa pun penderitaan itu, misalnya beliau terkena duri sekalipun! Apalagi menempati posisi saya untuk dibunuh. Saya tidak akan rela buat selama-lamanya."
Jawaban yang tenang lagi mantap itu bukan saja mengagetkan tokoh- tokoh  Quraisy,  tetapi lebih-lebih lagi  mengejutkan  Sa'id bin Amir.  Ia  amat hormat terhadap pernyataan Khubaib,  di  mana ia telah  memperlakukan  pemimpinnya secara  hormat  penuh takdzim. Dalam  lubuk  hatinya, ia berkata,  "Bagaimana  seorang pemimpin dicintai  oleh  pengikutnya sedemikian  rupa,  sehingga melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri?"
Setelah itu, Khubaib dieksekusi secara beramai-ramai. Ada tombak, panah, klewang, dan senjata-senjata lain ditikamkan dalam  tubuh nya.  Sa'id sangat terkesan dengan ketenangan Khubaib  yang luar biasa  rela menghadapi musibah besar dengan lapang dada. Jauh di lubuk  hatinya tersimpan pertanyaan yang menggoda, "Jenis ajaran apakah yang diberikan oleh sang pemimpin kaum Muslimin itu kepada umatnya, sehingga umat betul-betul menjadi orang pilihan, berani menghadapi segala risiko berat dengan tenang?"
***
KURANG lebih 13 tahun sesudah kejadian itu berlalu,  pemerintahan beralih  kepada Khalifah Umar bin Khathab. Ia  terkenal  selektif dalam memilih amir-amir (gubernur-gubernur) yang diangkat.  Dipi lihnya orang-orang yang kurang ambisi terhadap jabatan,  bersifat lurus, amanah, dan dekat dengan rakyat. Syarat-syarat itu rupanya sesuai  dengan pribadi Sa'id bin Amir. Untuk itu  khalifah  ingin mengangkatnya  menjadi pembantunya sebagai amir di Himsh,  daerah Syam.
Ditemuinya  Sa'id, kepadanya dikatakan, "Wahai Sa'id, saya  ingin mengangkat  engkau  sebagai penguasa di daerah  Himsh, bagaimana pendapatmu?"
Sa'id yang tidak pernah membayangkan jabatan itu, berusaha meno lak.  Katanya, "Wahai Amirul Mukminin, perkenankanlah saya  tetap menjadi orang biasa, agar tetap dapat berkonsentrasi ke  akhirat. Saya khawatir dengan jabatan baru ini, saya akan mudah berpaling dari akhirat menuju dunia."
Mendengar jawaban itu Umar marah. "Celakalah engkau wahai Sa'id! Engkau telah berlaku tidak adil. Bagaimana tidak? Engkau memberi kan jabatan berat di atas pundakku sementara engkau berlepas diri darinya. Dukungan jenis/model apakah ini?"
Akhirnya Sa'id tidak dapat menolak lagi, jawabnya, "Wahai  Amirul Mukminin! Demi Allah, saya tidak akan membiarkan Anda  sendirian dalam memikul  beban berat itu. Saya dengan kemampuan  yang ada akan berusaha membantu Anda."
Dari kejadian itu, Sa'id kemudian diangkat Umar menjadi  Gubernur di  Himsh.  Namun ia termasuk gubernur yang unik.  Gubernur  yang amat sederhana. Hal ini terungkap ketika terjadi pertemuan  segi tiga antara Khalifah Umar yang sedang melakukan inspeksi,  rakyat di wilayah Himsh, dan Sa'id sebagi gubernurnya.
Khalifah  bertanya kepada khalayak, "Coba  sebutkan  terus-terang apa yang menjadi keberatanmu terhadap gubernurmu?"
Jawab mereka, "Ada beberapa hal yang kami merasa keberatan terha dap kinerja gubernur. Pertama, ia baru mau keluar setelah mata hari  telah tinggi. Kedua, ia tidak bersedia menerima  kami pada malam  hari.  Ketiga,  ia seringkali tanpa  kami  ketahui sebab- musababnya mendadak jatuh pingsan."
Khalifah Umar berpaling kepada Gubernur Sa'id bin Amir, "Jawablah keberatan-keberatan mereka itu dengan benar."
Sa'id  kemudian bangkit memberikan jawaban.  "Terhadap keberatan pertama, saya katakan bahwa saya tidak mempunyai pembantu  sama sekali.  Apa pun pekerjaan rumah yang ada kami kerjakan  sendiri bersama isteri. Saya lebih dulu harus menanak bubur,  menjerang air,  dan melakukan persiapan-persiapan yang lain sebelum  keluar menemui mereka.
Adapun terhadap keberatan kedua, saya memang sejak awal berprinsip,  apa  pun yang terjadi kami ingin  mencapai kebahagiaan di akhirat  lebih daripada di dunia. Sebab itulah  kebahagiaan  yang sesungguhnya  dan  abadi.  Untuk itu, masalah  dinas  telah  kami sediakan  waktu untuk siang hari. Sedangkan untuk malam harinya, kami menyediakan diri untuk beribadah kepada Allah semata.
Mengenai keberatan ketiga, bahwa saya sering pingsan, saya  akui. Sebetulnya  ini  berhubungan  dengan  pengalaman  traumatik saya sebelum  Islam  di Makkah. Yakni ketika  menyaksikan  penderitaan Khubaib  disiksa oleh orang-orang Quraisy. Setelah melecut  sadis dan  menyayat-nyayat tubuhnya, mereka akhirnya membunuhnya tanpa rasa  dosa. Sementara saya ada di depannya, tidak  dapat berbuat apa-apa; hanya termangu-mangu dan terpaku di tempat.
Setiap  kali saya mengenang dan mengingat peristiwa Khubaib yang disiksa sadis, sementara saya tidak berbuat apa pun, saya  merasa berdosa  besar dan sulit diampuni. Itulah sebabnya  saya  pingsan setiap kali teringat peristiwa traumatik itu."
Mendengar jawaban lugas Sa'id itu, Khalifah Umar merasa  terharu. Jawaban  polos  apa adanya itu dapat  diterima.  Khalifah  merasa bahwa  Sa'id  bin  Amir, gubernurnya di  Himsh,  telah  melakukan pekerjaannya  dengan baik. Dia tetap lurus, amanah, dekat dengan rakyat,  dan  dekat dengan Allah. Tidak tenggelam  dalam  godaan- godaan duniawi.

0 komentar:

Post a Comment