Bilal bin Rabah adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah
(sekarang disebut Ethiopia). Bilal dilahirkan di daerah Sarah kira-kira
34 tahun sebelum hijrah dari seorang ayah yang dikenal dengan panggilan
Rabah. Sedangkan ibunya dikenal dengan Hamamah. Hamamah ini adalah
seorang budak wanita yang berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Oleh
karenanya, sebagian orang memanggilnya dengan nama Ibnu Sauda (Anaknya
budak hitam).
Masa kecil Bilal dihabisakan di Mekah, sebagai putra
dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras
dan menjadi budak. Sosok Bilal digambarkan sebagai seorang yang
berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar dan hitam. Dia menjadi
budak dari keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah mereka meninggal,
Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang yang menjadi tokoh
penting kaum kafir.
Bilal termasuk orang yang teguh dengan
pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada
penduduk Mekah, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah
saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah
yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama
manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau
juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi
Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah
saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan
mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli
sihir, bukan orang gila, dan terakahir beliau juga mendengar pembicaraan
mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad
saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk
mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian
menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru
kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Khalaf dan
menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan
sekeras-kerasnya.
Bilal termasuk golongan orang yang pertama-tama
masuk Islam. Masuknya Bilal ke dalam ajaran Islam mengakibatkan
penderitaan yang mendalam karena berbagai siksaan yang diterima dari
majikannya. Apalagi sang majikan Umayyah bin Khalaf termasuk tokoh
penting kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal memang cukup
berat, hal ini karena Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak
mempunyai kuasa apapun. Berbeda dengan para sahabat Nabi Saw yang lain
seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib yang
mempunyai keluarga dan siap melindungi menghadapi ulah kaum kafir yang
senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum muslimin dengan berbagai
cara.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang
mustad’afin memang sangat kejam. Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin
Rabah yang diperlakukan secara kejam oleh Umayyah bin Khalaf beserta
para algojonya. Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut
melepuh. Tetapi dengan segala keteguhan hati dan keyakinannya, dia tetap
mempertahankan keimanannya meski harus menahan berbagai siksaan tanpa
bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk, dia hanya bisa
mengeluarkan kata-kata: “Ahad, Ahad (Tuhan Yang Esa)”. Tidak hanya
sekedar dicambuk, kemudian Umayyah pun menjemur Bilal tanpa pakaian di
tengah matahari yang sangat terik dengan menaruh batu yang besar di atas
dadanya. Dengan segala kepasrahan, lagi-lagi Bilal pun hanya bisa
berkata: “Ahad, Ahad”. Setiap kali menyiksa Bilal, Umayyah selalu
mengingatkannya untuk kembali pada ajaran nenek moyang, dan Tuhannya
Latta, Uzza, tetapi Bilal tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia
tetap kukuh dan terus berkata: “Ahad, Ahad” setiap kali siksaan itu
datang kepadanya. Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras Umayyah
menyiksa Bilal. Bahkan dia mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal
lalu menyerahkannya kepada orang-orang bodoh dan anak-anak. Umayyah
menyuruh mereka untuk membawa keliling Bilal ke seluruh perkampungan
Mekah serta menariknya ke seluruh dataran yang ada di kota tersebut.Akhirnya
Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui
Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh
majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat
penyiksaannya. Melihat hal tersebut, Abu Bakar bermaksud membeli Bilal
dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia
menduga bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya.
Namun
Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas. Umayyah berkata
kepada Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: “Kalau engkau
tidak mau mengambil Bilal kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti
sudah aku jual juga.” Kemudian Abu Bakar menjawab: “Jika engkau tidak
mau menjualnya kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan tetap
membelinya!”
Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah
Saw bahwa dia telah membeli Bilal dan menyelamatkannya dari tangan
penyiksa, maka Nabi Saw bersabda: “Libatkan aku dalam pembebasannya,
wahai Abu Bakar!” As Shidiq lalu menjawab: “Aku telah membebaskannya, ya
Rasulullah.”
Begitulah akhirnya Bilalpun menjadi seorang yang
merdeka dan selamat dari siksaan sang majikan. Kebebasannya menjadikan
Bilal seorang yang semakin taat mengikuti ajaran agama Allah dan
Rasul-Nya. Ketika Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Bilal pun turut
serta berhijrah ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum kafir Quraisy
Mekah. Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat
dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti
setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf
mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Ketika
Rasulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan
adzan, maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan adzan (muazin) dalam sejarah Islam. Bilal pun menjadi
Muadzin tetap pada masa Rasulullah Saw. Suaranya yang begitu merdu
sangat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat
menyukai suara Bilal. Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal
berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Saw seraya berseru, “Hayya
‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari
meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Saw keluar dari rumah dan
Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Ketika
Rasulullah Saw akan menaklukkan kota Mekah, Bilal berada di samping
beliau. Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi
oleh 3 orang saja, mereka adalah: Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci
Ka’bah, Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari orang
kesayangan Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang muadzin
Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di
atas ka’bah dan menyerukan kalimat tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan
suara yang keras dan menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya.
Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal. Ribuan lisan manusia yang
mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk. Tetapi di sisi lain,
orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa
memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah
merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah”
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti
Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu....
Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai
orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya,
adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid
berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan
tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal
sehari sebelum Rasulullah Saw masuk ke kota Mekah.
Sementara
al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak
mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."
Al-Hakam
bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar.
Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."
Sementara
Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak
mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya
satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."
Pada
suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek
yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah
Saw. Rasulullah Saw mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan
kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khaththab, tapi tidak lama
kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu,
selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu kemana-mana.
Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul
Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di
hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Begitulah
sosok Bilal, dia selalu berada di belakang Rasulullah dalam kondisi
apapun. Kecintaannya terhadap Rasulullah Saw pernah membuatnya terbuai
dalam mimpi bertemu dengan Rasul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu,
Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah,
aku rindu sekali kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah,
aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma
tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut
berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang
gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi
tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi
Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong dihampir seluruh penjuru
kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu,
semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Sesaat
setelah Rasulullah Saw menghembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba.
Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah
Saw masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai
pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya
terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang
hadir disana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis
yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah”
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung
menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang mendengarnya ikut
larut dalam tangisan pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon kepada
Abu Bakar, sang khalifah yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai
pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena
tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin
kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan
Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq
merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya
keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika
dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau
berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah,
maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Kemudian Abu Bakar
menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku
memerdekakanmu juga karena Allah.”. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilal
segera menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan
adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Saw wafat.” Akhirnya Abu Bakar
menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan
Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal
di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus.
Pada
suatu hari, ia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi
saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga
engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal
ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain
ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak
permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai
mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara adzan seperti ketika
zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk
Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing
sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra itu. Setelah
beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia
meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada
tahun kedua puluh Hijriyah.
Pada waktu kedatangan Umar bin Khatthab ke
wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal setelah terpisah cukup
lama. Pada saat itu khalifah Umar bin Khattab baru saja menerima kunci
kota Yerussalem. Dalam pertemuan tersebut khalifah Umar bin Khattab
meminta kepada Bilal untuk mau mengumandangkan adzan dan akhirnya Bilal
mau menuruti permintaan sang khalifah. Mendengar Bilal menyuarakan
adzan, kaum muslimin merasa sangat terharu, bahkan Umar tidak dapat
menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-sedu. Suara Bilal
membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang
dilewati di Madinah bersama Rasulullah Saw. BiIal adalah pengumandang
seruan langit itu.
Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh
suara merdu dan syahdu Bilal bin Rabah dihadapan kaum muslimin. Bilal
tetap tinggal di Damaskus hingga akhir hayatnya. Menjelang wafatnya
Bilal pada tahun keduapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal
seringkali mengucapkan kata-kata secara secara beulang-ulang, kata
tersebut adalah:
“Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Bilal
–semoga Allah meridhainya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’,
tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh :
“Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam
Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal
kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan
sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci
dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya
melakukan shalat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan
shalat”. (Al-Bukhari).
Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan,
ketegaran dan keyakinannya akan ajaran kebenaran, telah mengangkat
derajadnya dan menjadikannya seorang mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya
meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang hina dan fakir.
Sebuah kisah teladan bagi kita semua.
0 komentar:
Post a Comment